Selasa, 17 Februari 2009

Samudera Ilahi Oleh : Ir.Permadi Alibasyah

Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 216 :


“Boleh jadi kamu membenci sesuatu,padahal ia amat baik bagimu;dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,sedang kamu tidak mengetahui.”

Ada seorang ulama yang mengatakan, untuk dapat lebih memahami maksud firman Allah tadi, kita dapat merujuk pada pengalaman nabi Musa as ketika ia berguru kepada Khidhir as.
Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, nabi Musa as pernah disuruh Tuhan berguru kepada seorang hamba saleh yang bernama Khidhir. Persyaratan yang diajukan khidhir kepada Musa sederhana saja, yaitu Musa tidak boleh bertanya mengenai apa yang dilakukannya sebelum hal itu dijelaskan sendiri oleh Khidhir.

Diriwayatkan, suatu ketika mereka berdua pergi berlayar menumpang perahu seorang saudagar yang baik hati. Ketika perahu merapat dipantai, tiba-tiba khidhir mengamuk. Dikampaknya perahu itu, sehingga perahu yang semula indah, kini tampak menjadi berantakan. Kontan nabi Musa as, yang terkenal tempramental menegurnya, “mengapa ini kau lakukan, bukankah kita telah diberinya tumpangan gratis? Engkau sungguh orang yang tidak tau membalas budi!” Mendengar ini khidhir hanya menjawab pendek,”Bukankah engkau telah berjanji padaku tidak akan bertanya apapun yang aku lakukan?”

Musa tertegun dan teringat akan janjinya,bahwa ia telah menyanggupi tidak akan bertanya apapun yang dilakukan oleh khidhir.
Merekapun lalu melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang anak kecil yang wajahnya tampan. Sekonyong-konyong Khidhir membunuh anak itu! Tentu saja nabi Musa as. Terkejut dan langsung menghardik khidhir, “Betapa zalimnya engkau! Apa kesalahan anak ini sehingga ia engkau bunuh dengan kejam?” Melihat kegusaran Musa, Khidhir hanya tersenyum, lalu ia berkata, “Bukankah sudah kukatakan padamu, bahwa engkau tidak akan sanggup mengikutiku tanpa boleh bertanya atas apa yang aku lakukan?” Musa sekali lagi sadar akan janjinya, dan memohon agar ia tetap dibolehkan mengikutinya. Merekapun lalu melanjutkan perjalanan.

Disebuah desa, karena kelaparan mereka meminta sesuap nasi. Tetapi penduduk desa itu tidak ada yang peduli. Dengan perut yang keroncongan, mereka berjalan terus sampai akhirnya menemukan sebuah dinding yang hampir roboh. Khidhir pun segera memperbaikinya. Musa yang rupanya masih dongkol dengan sikap penduduk desa yang pelit itu, dengan jengkel berkata, “Mau-maunya kau lakukan ini. Bukankah mereka tak peduli dengan perut kita yang keroncongan?”

Kali ini Khidhir pun segera menjawab, “Rupanya inilah saatnya kita harus berpisah. Engkau telah tiga kali gagal menepati janjimu, yaitu untuk tidak bertanya atas apapun yang aku lakukan. Namun sebelum berpisah, akan kuterangkan kepadamu maksud dibalik semua tindakanku ini. Aku merusak perahu yang kita tumpangi dahulu, karena raja di tempat kita berlabuh itu sangat senang dengan perahu yang indah-indah. Bila perahu itu tidak kubuat cacat, niscaya raja yang zalim itu akan merampasnya. Adapun anak kecil yang aku bunuh itu, bapaknya adalah seorang ahli ibadah.

Tetapi ia mempunyai rasa sayang yang sangat berlebihan kepada anak itu, sehingga hal ini akan dapat merusak pengabdiannya kepada Allah. Terakhir mengenai dinding ini. Di bawah dinding ini tersimpan harta warisan seorang saleh untuk anaknya yang masih kecil-kecil. Kalau dinding ini sampai roboh, maka harta itu akan ditemukan oleh orang lain. Tuhan menghendaki anak-anak yatim itu suatu saat kelak akan menemukan harta warisan dari ayah mereka itu. Wahai Musa, mudah-mudahan sekarang engkau paham, bahwa semua yang kulakukan ini demi kebaikan semata.”

Mendengar penjelasan Khidhir ini, Musa pun terdiam. Ia yang selama ini selalu merasa paling benar, akhirnya mengakui bahwa ada tangan Tuhan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, mengatur semua peristiwa di dunia ini agar selalu berjalan dengan harmonis.
Kisah ini memberi pelajaran kepada kita tentang rahasia Illahi. Betapa sering kita, seperti halnya Musa, protes kala merasakan ketidak-adilan.

Kita menjadi masygul manakala kesedihan dan kesulitan menimpa kita. Dan terperangah bahagia kala tiba-tiba meraih kesenangan dan keuntungan. Padahal sebagaimana yang diajarkan Khidhir, apa yang nampak oleh mata kita , bisa saja bermakna sebaliknya. Kehidupan ibarat samudera Illahi yang sangat luas dan dalam.

Terkadang akal saja tidak cukup. Perlu mata hati untuk menembusnya. Bahkan seorang Musa pun, yang pernah berdialog langsung dengan Allah, perlu belajar dari seorang bijak untuk mengasah mata hatinya guna menyelami kedalaman samudera Illahi tadi. Ada baiknya kita renungkan nasihat bijak yang diberikan oleh seorang ahli hikmah, “Cukuplah kita pasrahkan hidup ini kepada kehendak Tuhan, sambil berupaya semaksimal mungkin yang dapat kita lakukan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog